Waktu yang dulu begitu fleksibel, kini terasa ngilu di ulu hati.
Tak lain dan tak bukan lantaran rutinitas harian yang menjebak kami dalam kehidupan kantor, di mana setiap orang musti tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan.
Ada atasan di situ, yang menilai kinerja kita tiap tahun plus meminta ini itu sesuka suka hatinya dia, kapan pun dia mau.
Juga ada beberapa rekan yang tak bisa dibilang teman, merangkap sebagai mata-mata atasan. Tak jelas apa yang dipikirkan. Yang pasti dia penjilat nomor wahid di kantor.
Lalu tersisa beberapa teman yang senasib sepermaninan, kalo tak bisa dibilang seperjuangan-karena bagiku kerja (di sini) cuma menghabiskan waktu luang agar dapat uang untuk beli baju dan ke dokter kulit- , yang setia berbagi gosip dan berita up to date seputaran kantor.
Ditambah jalanan Jakarta yang padat bukan kepalang, kalau Fauzi Bowo tak mau dibilang bodoh lantaran bikin Mixed traffic di jalur busway.
Ditambah faktor cuaca yang unpredictable : udah ujan, becek gak ada ojeck..
Menghasilkan sungai-sungai kering di sepanjang jalanan Jakarta : berlubang sana sini, kerikil sana sini.
At the end, rumah mungil kami selalu sepi setiap sore.
Hanya dihuni cicak, nyamuk, dan semut-semut. Sedih bukan buatan.
Menjelag tengah malam kami pulang dengan oleh-oleh yang sama tiap harinya : lelah dan penat.
Rutinitas malam berlangsung sama : mandi, makan malam kalo masih lapar, isya bersama dan tidur.
Kata Peggy Melati Sukam : pussssiiiinggg .....
Apa musti begitu tinggal di Jakarta ?
-rumah petak, menjelang tengah malam, 120308, sedikit relevan sampe awal 2009-
Minggu, 17 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar