Jumat, 23 Desember 2011

desember, sebuah kejutan


Desember, sebuah kejutan


Setiap Desember adalah menunggu, kata Gunawan . Keniscayaan yang bisa menjadi kepercayaan. Atau sebuah komentar angin lewat saja ? Bagaimana menurutmu, percayakah kau desember adalah menunggu ? Ahhh … … tidak bagiku. Nyatanya tak demikian. Desember bagiku, adalah sebuah kejutan.

Pagi di tanah yang basah. Hujan semalam menyisakan bau kemalasan lewat udara yang berembun rapat. Tapi dingin mulai meruap melalui asap mobil dan cerobong pabrik. Kota ini, sungguh-sungguh gila. Sampah. Kebisingan. Penodongan di bis kota. Anak jalanan. Sutiyoso. Kapak merah. Banjir. Penggusuran. Semuanya beradu membentuk suatu peradaban baru di Jakarta. Sementara orang-orang berdasi di Senayan dan Sudirman terus saja minum Exelso di kafe-kafe mahal. Aahhh….
Pagi seperti itulah, yang basah tanahnya, yang meruap dinginnya aku merasa bercakap-cakap dengan laki-laki itu. Tapi bukan di Jakarta yang bising dan banjir. Tapi tidak sembari minum Exelso di kafe-kafe mahal.

+ Saat ini, hidup bagiku adalah menembak. Berlari-larian di sepanjang hutan yang rimbun. Hampir-hampir tiada cahaya. Mungkin sarapan dengan ular atau biawak. Lalu berlari lagi. Sampai kau merasa aman. Rasanya, hutan adalah rumah bagiku. Peraduanku ketika malam tiba. Dan hidup, adalah menembak. Kalau tidak kau yang tertembak.

Katanya, pada pagi itu. Yang kuingat satu-satunya adalah pagi yang basah dan dingin. Tapi dingin mulai meruap menggantikan pembicaraan hangat tentang hidup. Kami terjebak di sebuah hutan rimbun tanpa cahaya setelah berlarian semalaman dan kami menemukan peraduan yang sukup aman. Kami menghabiskan beberapa malam untuk istirahat dan berlindung. Tempat itu terlindung sebuah tebing curam yang sulit dilalui orang biasa. Hanya penduduk asli saja yang paham celah-celah jalan menuju tempat kami berada waktu itu. Kuingat lagi, wajahnya garang. Penuh dendam di matanya.

- Tapi itu pilihanmu kan ? Ada banyak alternatif yang bisa dipikirkan. Dari mediasi, jalan damai….
Dia memotongku cepat. Katanya….

+ Aku lelah berbicara dengan penjajah itu. Mereka licik. Perampok. Pembunuh. Penindas.

Asap hitam mengepul dari mulutnya yang hitam. Laki-laki tua di hadapanku itu baru saja menyalakan rokok. Ujarnya pada suatu saat, sebagai kompensasi kegundahan hatinya. Wajahnya yang garang masih tenang. Nafasnya teratur. Tak ada kemarahan hari ini. Lalu, dia bicara lagi. Kali ini dia mencoba memancing emosiku.

+ Kau, tak balik ke Tapanuli Selatan, hei ….. he..he..he….

Dia terkekeh-kekeh mengejekku. Aku tau itu. Menertawakanku. Tapi aku diam saja. Aku malas menimpali ujarannya. Sekali muncul ulasan tentang hal-hal primordial terutama tentang tanah kelahirannya, seketika itu pula keluar sumpah serapah bagi Negeri Jawa. Baginya, tanah air Nangroe Aceh adalah surga yang telah terkoyak. Tercabik-cabik dan luka hingga berdarah-darah. Dan darah itulah penderitaanya. Baginya kebenaran terletak pada penderitaan yang dia pikul bertahun. Penderitaannya sendiri.

+ Aku lelah, sebenarnya. Tapi waktu terus berjalan. Hidup harus dijalani dengan senapan atau kau harus tertembak dan mati.

Laki-laki tua baya itu terus saja mengepulkan asap dari mulutnya yang hitam. Tangan kanannya terus saja memeluk senjata. Baginya senjata adalah nafas hidupnya. Hidup dengan menembak atau mati karena tertembak.



Lalu gelap. Aku alpa semuanya. Jakarta. Asap rokok laki-laki tua. Kilatan cahaya kamera. Dan kali ini aku temukan sebuah mozaik indah tanpa suara.


Sebuah rumah. Jauh dari kebisingan Jakarta yang sesak. Rumah berhalaman sempit bertabur cahaya. Gemerlap dan wangi. Sewangi kesturi dari surgaloka.
Tiga bocah berlarian. Main petak umpet rupanya. Seorang di dalam almari, seorang di kolong meja makan. Dan seorang lagi mencari dengan wajah kusut. Sepasang pengantin dalam bingkai foto di dinding tangga. Sebelahnya terdapat foto anak pertama berseragam SD, yang wajahnya kusut mencari adik-adiknya. Lalu foto anak kedua yang bersembunyi di kolong meja makan. Dan si bungsu, paling cantik diantara abang-abangnya. Deretan foto yang indah, kukira. Dan aku sangat mengenalinya.Ttapi dimana ? Aku alpa. Alpa semuanya



Jakarta terik sekali siang ini. Sebuah kantor redaksi berita harian yang nongol di televisi setiap pukul setengah 6 pagi. Suasana masih sibuk. Persiapan untuk berita sore, ketika telefon berdering-dering . Seseorang mengangkat. Interlokal dari sebuah kota di ujung timur negeri ini. Kota yang sangat jauh dari Jakarta. Dan si penelpon membuat jarak antara penantian dan kenyataan semakin jauh. Antara harapan dan persuaan kian maya. Berharap-harap cemas setiap saat dalam kurun waktu 6 bulan. Menanti telefon yang berdering dari kota yang jauh itu. Berdebar jantung. Berkhayal sebuah pertemuan. Menyediakan a shoulder to cry on. Menunggu kabar dan berita, bagaimana keadaanmu kawan? Aku sungguh rindu dan tak kuat lagi menahan semua rasa yang telah menumpuk.
Dan kejutan yang datang pada Desember itu ternyata sebuah berita duka.



Setiap desember adalah menunggu, kata Gunawan. Tapi yang datang kali ini bukan Mesias. Bukan Juru Selamat. Tapi sesosok mayat. Pagi di tanah yang basah. Hujan semalam menyisakan kedukaan lewat angin yang menebar wangi barus dari peti-peti mati.

Aku lelah. Bagiku mungkin ini sudah cukup. Bertualang di hutan-hutan dan akhirnya tertawan. Mungkin kata-kata si tua baya itu benar, kita perlu memeluk senjata selain kamera. Dalam perjalan pulang aku terus saja terngiang-ngiang kata laki-laki tua baya yang kutemui di hutan tanpa cahaya setahun atau dua tahun yang lalu. Katanya, waktu terus berjalan. Hidup harus di jalani dengan senapan atau kau harus tertembak dan mati.



Smg, 1 Januari 04.
Remembrance of Ersa Siregar.

i left my heart @ pulau Makasar




Nama Makassar begitu popular di seantero dunia. Di Indonesia, Makassar dikenal sebagai nama ibukota Sulawesi Selatan, nama sebuah suku bangsa dan nama berbagai kampung di beberapa kota di Nusantara. Bahkan di Cape Town, Afrika Selatan terdapat Kampung Makassar. Nama Makassar juga dikenal di Negara Madagaskar. Konon, istilah ‘Madagaskar’ berasal dari nama “makasar”. Hal ini pertanda hegemoni Makassar begitu besar pada masa lalu. Bergeser ke timur sedikit, tak jauh dari Kota Makassar, terdapat sebuah pulau yang juga berlabel Makassar. Pulau Makasar disebutnya (bukan dengan dua huruf 'S'). Umur Pulau Makasar diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Ini dapat dilihat dari prasasti makam Sultan Buton VIII Mardan Ali atau Oputa Yi Gogoli yang terdapat di pulau seluas lebih kurang 10 kilometer persegi tersebut, antara tahun 1647 dan 1654. Hal itu dapat pula dikaitkan dalam sejarah Kerajaan Buton yang ditulis Ligtvoet tahun 1887 yang menyiratkan asal-usul nama Pulau Makasar. Banyak cerita tersimpan di pulau nan cantik itu.
Perjalanan saya menuju pulau mungil yang kaya akan pasir putih itu, bermula dari Kota Bau-Bau. Jarangka saya bersandar di Pelabuhan Lama, tak jauh dari Pelabuhan Sultan Murhum, tempat kapal-kapal cepat dan lebih besar bersandar. Jarangka adalah sebuah perahu tempel mesin, alat transportasi tradisional jarak pendek andalan penduduk kepulauan sekitar. Sepanjang perjalanan, kita dapat menyaksikan birunya laut yang masih relatif bersih. Sesekali kita melihat ikan melompat memperlihatkan kepalanya di atas permukaan air laut. Burung-burung laut yang terbang rendah menyambar makannya. Tak sampai setengah jam, jarangka yang membawa saya telah mengantarkan langkah kaki sampai di sebuah pelabuhan kecil yang sederhana di Pulau Makasar. Bersama rombongan teman-teman mahasiswa yang tergabung dalam kegiatan Arung Sejarah Bahari VI, saya disambut dengan upacara adat. Beberapa laki-laki menabuhkan sebuah gong besar sambil menyanyikan sebuah lagu tradisional. Semacam tarian selamat datang untuk para tetamu.
Kontur tanah di Pulau Makasar sangat menarik, pemukiman penduduk berada jauh di atas pelabuhan kecil yang tadi menyambut kedatangan jarangka kami. Untuk mencapainya kami harus menaiki anak tangga. Nampak beberapa penduduk antusias melihat kedatangan kami. Sebenarnya kontur tanah yang demikian, sangat menguntungkan bagi orang yang mendiami pulau. Hingga memudahkan mereka untuk mengintai perahu atau kapal yang mendekati pulaunya. Saya sebagai pendatang merasa diselidiki dan diawasi dari ‘atas’. Pikiran saya terkenang akan sejarah pulau ini, kisah sejarah Arung Palakka dan Cornelis Speelman.
Cerita tentang Pulau Makasar berkaitan dengan kedatangan Arung Palakka ke wilayah Kesultanan Buton pada tahun 1660 akibat konflik antara Kerajaan Bone dan Gowa. Arung Palakka sendiri adalah putra bangsawan Bone. Dia diterima baik oleh Sultan Buton hingga kemudian melahirkan perjanjian persahabatan antara Buton dan Bone bahwa Buton adalah Bone Timur dan Bone adalah Buton Barat. Dalam bahasa Bugis, Bone ri lau butung ri aja, yang berarti Buton adalah Bone timur dan Bone adalah Buton barat. Persahabatan ini mempunyai latar belakang sejarah. Batauga adalah sebuah kerajaan lama yang dianggap sebagai cikal bakal kesultanan Buton. Raja Batauga yang bernama La Maindo mempunyai empat anak, satu diantaranya La Kabaura. Dialah yang menurunkan Arung Palakka. Berkat kedekatan hubungan keduanya, Sultan Buton memberikan perlindungan kepada Arung Palakka dan pasukannya. Di Buton sendiri, Arung Palakka dikenal dengan gelar La Tondu. Dalam Bahasa Wolio, Tondu berarti tenggelam. Jadi mungkin maksud dari gelar ini sebagai orang yang tenggelam karena bersembuyi di bawah tanah, tempat ia bersembuyi di sebuah gua kecil di lereng Bukit Benteng Wolio. Ada pula yang menyebutkan bahwa Sultan Buton menyembunyikan Arung Palakka dalam sebuah lubang dalam dinding sumur yang terdapat di kompleks keraton Buton. Dalam versi sejarah lokal Buton, Arung Palakka disembunyikan di dalam mihrab masjid keraton.
Bukti Sultan Buton melindungi Arung Palakka dapat dilihat pada salah satu pintu di benteng keraton yang disebut Lawana Kampebuni, artinya pintu untuk bersembunyi. Pintu ini menuju ke sebuah lereng yang menurun ke sebuah gua kecil, tempat Arung Palakka bersembunyi. Dalam melindungi Arung Palakka, Sultan Buton selalui mengatakan bahwa Raja Bone ini tidak berada di atas tanah Buton, sehingga setiap orang Makassar yang mencarinya tidak akan pernah bertemu. Tradisi lisan sinrilikua kappalak tallumbatua yang menyebutkan:
“Berkatalah raja butung, aku akan ditimpa penyakit pogek, akan robek mulutku sampe telinga kalau dia ada di atas tanah butung.”
Merujuk pada prinsip Kesultanan Buton, labu rope labu wana, Buton akan selalu menghadapi ancaman dari Kerajaan Gowa. Pada saat itu, situasi di jazirah Sulawesi meruncing setelah Sultan Ternate menyerahkan Pulau Muna kepada Sultan Buton, tanpa sepengetahuan Raja Gowa. Ditambah pula perlindungan Sultan Buton terhadap Arung Palakka. Makin kuat alasan Gowa menyerang Buton.
Pada tahun 1666, Raja Gowa saat itu, Sultan Hassanuddin, mengirimkan pasukan sebanyak 700 kapal dan 20.000 pasukan di bawah kepemimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu. Melihat situasi di Buton yang makin tidak kondusif, VOC memerintahkan Admiral Cornelis Speelman yang saat itu menjabat sebagai komandan dan komisaris Hindia Belanda Wilayah Timur untuk bertolak dari Ternate menuju Buton. Pada 1 Januari 1667, armada Speelman tiba di perairan Buton tepat sehari setelah Pasukan Karaeng Bontomaranmu menduduki Kota Bau-Bau. Berkobarlah pertempuran di laut. Pada hari kedua orang-orang Makassar (Gowa), telah terdesak dan memilih perbukitan sebagai tempat pertahannya.
Seorang juru bahasa Buton menemui Speelman, untuk mengadakan perundingan antara Buton dan VOC. Pada malam harinya diadakan pertemuan antara Sultan Buton dan Speelman. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa separuh pasukan Buton akan tinggal di kota dan separuh lagi di bawah dua orang kapiten laut akan memperkuat pasukan Speelman. Setelah mengetahui bahwa armada Speelman diperkuat oleh pasukan Arung Palakka (yang membantu Sultan Buton), orang Bugis yang sebelumnya tergabung dalam pasukan Karaeng Bontomaranmu, menyeberang ke barisan Arung Palakka. Terdapat sekitar 15.000 orang jumlahnya. Situasi ini jelas melemahkan Pasukan Gowa.
Karaeng Bontomaranmu melihat kondisi ini meminta Speelman mengadakan gencatan senjata dan perundingan. Pada 4 Januari 1667 mereka bertemu dan menyepakati bahwa seluruh pasukan Makassar berserta perlengkapannya akan diserahkan kepada VOC. Jumlah tawanan Gowa yang jatuh ke tangan Speelman kira-kira 10.000 orang, terdiri dari orang Bugis dan Makassar termasuk Karaeng Bontumaranmu, Sultan Bima, dan Datu Luwu. Separuh dari tawanan dilepas oleh Sultan Buton setelah pasukan Belanda meninggalkan Buton untuk pergi ke Ternate. Menurut Ligtvoet, pelepasan itu dilakukan setelah pimpinan pasukan Gowa membayar tebusan.
Separuhnya lagi dibawa ke sebuah pulau, dekat Teluk Bau-Bau dan dijadikan budak VOC. Pulau itu oleh orang Buton disebut Liwuto (liwuto artinya pulau). Nasib tawanan sangat menyedihkan karena tidak diberi makanan yang cukup. Hingga mereka terlantar dan kelaparan hingga ajalnya. Itulah sebabnya, Ligvoet dalam laporannya menyebutkan pulau itu sebagai kuburan orang Makassar (Makassarche kerkhof). Sementara dari pihak Speelman menyebut pulau itu sebagai Pulau Sang Pemenang (Overwinnars eiland). Setelah peristiwa itu, Liwuto lebih dikenal dengan sebutan Pulau Makasar. Kini namanya justru populer dengan sebutan Puma, singkatan dari Pulau Makasar.
Dalam perkembangan sistem pemerintahan Indonesia, Puma dijadikan nama sebuah kecamatan, dengan dua kelurahan di dalamnya. Nama lama Puma, yakni Liwuto tetap diabadikan sebagai nama kelurahan di bagian timur pulau tersebut, selain Kelurahan Sukanayo di bagian barat pulau. Di Puma kita dapat menjumpai sejumlah tempat wisata yang oleh masyarakat setempat sendiri tidak disadari sebagai tempat wisata. Di antaranya makam Sultan Buton VIII Mardan Ali yang terletak di depan kantor Kelurahan Liwuto. Selain menjumpai makam Sultan Buton VIII, di Puma juga kita masih mendapatkan sejumlah tempat bersejarah lainnya, seperti Goa Keramat atau “Liana Binte” yang terletak di lingkungan Tanjung Batu, ujung Puma bagian selatan yang berhadapan langsung dengan Kota Bau-Bau. Gua tersebut sejak puluhan tahun ini ditutup dengan batu besar. Konon, orang-orang tua dahulu menjadikan goa itu sebagai tempat bertapa untuk mendapatkan ilmu sakti. Ada pula tempat pembuatan perahu tradisional di Kelurahan Sukanayo.
Matahari telah naik di atas kepala saat kami selesai berkeliling pulau. Tujuan terakhir kami tak lain adalah pantai ! Membayangkan pasir putih yang menghampar dan nyiru melambai saja sudah membuat kami senang bukan kepalang. Sebagai tuan rumah, kepala desa setempat menyambut rombongan dengan menu khas Pulau Makasar, ikan bakar tentunya. Ditingkahi tarian lula dari teman-teman mahasiswa, sebuah tarian tradisional yang energik dengan para penari bergandengan tangan dan menonjolkan permainan kaki, menu siang saya terasa sangat istimewa. Angin pantai berhembus memainkan ranting-ranting kelapa. Sementara dari laut nampak awan hitam pekat bergulung mendekati kami. Ah, belum puas rasa hati ini menikmati pulau cantik ini. Namun apa dikata para nelayan, sebentar lagi hujan besar. Rombongan harus segera naik dari pantai menuju rumah penduduk di atas perbukitan atau hujan badai akan menyapu kami. Mau tak mau kami membubarkan diri. Perjalanan diakhiri selepas hujan mereda. Bersamaan dengan rinai gerimis, kami tinggalkan Makassarche kerkhof atau Overwinnars Eiland, yang sebenarnya masih memanggil-manggil untuk dijelajahi. (HAK).