Kamis, 24 Juli 2008

desperate civil servant (season 1)

Dalam renunganku tiap pagi di sini, menyelinap satu perasaan : udah mulai menunjukkan tanda-tanda desperate di sini. Situasi yang membosankan. Orang-orang yang suka menginjak dan menjilat. Wajah dengan topeng kepura-puraan. Menjijikkan. Ditambah pula tawaran salary yang tidak menjanjikan. Bagaimanapun juga aku musti realistis. Aku cukup bersyukur memiliki suami yang bisa melindungi dan mengayomiku baik secara psikologis dan finansial. Namun aku juga mau mandiri secara finansial.

Muak dan begah melihat kantor ini.

Well, bisa berada di sini aku sudah sangat bersyukur. Tahapan ujian yang beraneka ragam, tanpa rekomendasi atau bahkan koneksi barang satu orang pun dapat dikatakan bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Susah sungguh.

Hanya saja….saat realita di lapangan tak sesuai dengan harapan dan idealisme di yang sudah tertata rapi dalam angan, tiba-tiba muncul perasaan marah dan kecewa yang tak berujung. Salahkah ?

Tentu tidak. Aku hanya saja belum menemukan tempat yang tepat untuk pelampiasan rasa marah dan kecewaku ini. Dengan apa ? Menulis ? huh, menulis saja pun aku tak bisa. Betapa sedih dan sedihnya aku ini.

Aku ingin teriak dan berlari. Lari saja.

Namun aku teringat pada satu ‘kecewaku’ di masa lalu. Kecewa pada pak benny, dosenku di unika yang demikian aku hormati dan banggakan karena kompetensinya sebagai seorang akademisi. Pak benny, di masa mudanya pernah menjalani masa cpns-nya di departemen luar negeri sebagai calon diplomat. Namun tatkala realita di lapangan benar-benar bertentangan pada hati nuraninya, dia berlari dan menjauh dari hiruk pikuk dunia birokrat. Hilanglah kesempatannya menjadi diplomat, yang tidak pernah ia sesali. Nyatanya sudah jadi orang dia kini. Dosen di universitas ternama, kuliah s2 dan s3 keluar negeri plus wirausaha yang cukup sukses.

Aku kecewa padanya. Kenapa ?

Mengapa harus lari ? Jika banyak orang sekompeten dia pergi dari dunia birokrasi Indonesia, mau jadi apa Indonesia ?



-midyear 2008-

Jumat, 18 Juli 2008

boys will be boys

ungkapan itu kayaknya benar adanya.
apalagi setelah menjalani kehidupan pernikahan.
jadi kupikir-pikir lagi......
seandainya anak kami lahir dan berjenis kelamin laki-laki,
pastinya akan ada dua laki-laki yang akan minta dimanjain tiap hari.
baiklah.......
aku suka keadaan ini.


-mid year 2008-

kutukan dari surga

setelah kupikir dan renungkan .........
berapa kali aku kerja sampe akhirnya terdampar di sudirman,
selalu saja ada benang merah di setiap pemberhentianku.
pertama, bii pemuda semarang.
my boss is miss andriyani
kedua, trans tv jakarta
my boss is miss irma and then miss wiwien jolie
and the last : sudirman
with my boss is mrs suharni.

guess what ?
punya bos perempuan itu melelahkan.
not phisically. but, psycologically.

-mid year 2008-

jatibening sudirman pp

a brand new day, bukan saja kehidupan rumah tangga yang selalu ceria.
tapi juga karir yang tiap hari ada saja hal-hal yang membuatku berhenti sejenak dan menoleh.
sebulan di sudirman rasa-rasanya masih adem ayem. tanpa konflik.
pertentangan batin mulai muncul di bulan kedua.
inefektivitas kinerja aparatur negara.
korupsi waktu.
korupsi uang (walau kecil tetap dibilang korupsi kan ..)
ketidakberesan administrasi.
rekayasa segala hal agar bisa untung sana sini
kesejahteraan yang tidak merata (kayaknya inilah awal bencana deh)
dan yang paleng bikin capek : silly thing becomes a big deal.

wajar dunks kalo pns gajinya 'cuma' segitu......
masak pake menggerutu ?
kalo gak betah keluar ajah jadi pns. gitu aja kok repot..

kalo udah butek, selalu ngarep jam 4 datang segera.
pulang, dan ... my little home sweet home, im coming !



-mid year 2008-

Selasa, 24 Juni 2008

cerita dari dieng





DL pertamaku : ke kabupaten wonosobo.
walo masi banyak tanya yang belum selesai dijawab. (mungkin sampai kiamat juga tak akan terjawab)
anyway....
dieng ..... dengan golden sunrise nya yang menyilaukan dan silver sunrise yang tertutup awan biru. juga perbukitan gundul, deretan awan rendah, udara yang sejuk .. cukup eksotis kurasa. sayangnya budaya sudah tergerus, entah oleh alam atau manusia. (kasihan kan kalo globalisasi disalahkan terus menerus...)
kupikir, perubahan sosial di sana adalah satu keniscayaan. bersamaan dengan masuknya Islam di Nusantara dan seterusnya hingga kini tak ada lagi komunitas Hindu di sana. aku berandai-andai mereka masih ada, maka apa yang dicita-citakan tentang Bhineka Tunggal Ika dapat dibaca dari Dieng. sayangnya aku terlalu naif untuk bermimpi. atau orang Islam di sana demikian sensitif ? entahlah .. .. ..
banyak yang kudapat dari Dieng.
bacaan situasi kantor, proses pendewasaan yang menyakitkan, selain tentunya teman dan rekan di luar departemen.


-sudirman, akhir juni-
after this workshop, so what gitu lo ?