Minggu, 17 Mei 2009

bu siska dan chef cantik itu ..


Urusan kuku emang penting buat saya.
Saya bakal senewen jika salah satu kuku saya bermasalah : patah ujungnya, muncul kulit mati di sekitar kuku yang membuatnya tidak cantik lagi. Bisa seharian saya utak atik kuku saya, dan ujung-ujungnya saya potong habis -kalau tak sabar menunggu jadwal meni pedi bulan ini-.

Paling seneng sehabis meni pedi, rasanya tangan saya ringan betul saat melakukan aktivitas. Pastinya kuku dan jari tangan nampak makin seksi pas mijit my hubby. Euleuh..euleuh ..

Gemar pake cuteks bening kalo lagi mens. Selama nifas ini lagi sukak pake warna pink agak fuschia.

Nah, kebiasaan ngurusin tetek bengek per-kuku-an ini jelas tidak seiring sejalan dengan minat saya yang lain : memasak. Motong sayur, bikin jari kapalan. Ngiris cabe, menghasilkan warna alami merah di bawah kuku. Ngupas kunyit apalagi. Kuning menyala di sekitar ujung jari.

Pendek kata, hobi memasak saya berdampak buruk bagi keberlanjutan kuku cantik saya. Tapi itu tidak berarti saya langsung kehilangan selera pada cooking time.
Nah, dari dua kesukaan saya yang saling tidak mendukung satu sama lain itu, saya belajar menilai. Sejauh mana orang bisa dan terbiasa memasak. Perkara sedap tidak sedap, itu perkara selera. Semoga saya benar.

Well..Chef favorit saya, tentu saja Ibu Sisca Soewitomo.



Siapa pun yang menggemari dunia kuliner Indonesia sudah sangat mahfum dengan nama besarnya. Kini, tak terhitung berapa koleksi buku resep ciptaannnya di rak buku saya. Sejak kemunculannya pertama kali di layar kaca Indosiar, kurang lebih 10 tahun yang lalu, saya rajin mengikuti cooking class-nya tiap Sabtu pagi pukul 7 itu. Kalau tak salah, saya tengah menunggu waktu kelulusan SMU waktu itu. Jadi punya banyak waktu luang untuk mendalami kuliah jarak jauh dari Bu Sisca. Resepnya cocok dengan lidah saya yang suuaangat Indonesia, bumbunya mudah didapat di pasar tradisional, dan proses memasaknya tidak rumit.

Kemunculannya cukup mengelitik semesta minat saya pada kegiatan masak memasak. Bagaimana tidak ? Yang nampak di layar kaca adalah gemulai tangannya yang padat berisi, terampil meracik bumbu dan mengolah adonan menjadi santapan yang nikmat. Tentu dengan barisan kuku yang bersih dan cukup terawat. Tidak perlu panjang melentik, tentunya. Jangan dilihat dulu jam terbangnya dalam hal menyiapkan kuliner deh, dari performance-nya saja sudah meyakinkan penonton bahwa ibu sepuh ini sangat terbiasa masak.
(Bisa jadi, penampilan ibu berwajah jenaka di layar kaca inilah yang menjerumuskan saya pada dunia masak memasak untuk pertama kalinya).

Sepuluh tahun berlalu. Dari channel yang berbeda, saya tonton coocking class di layar kaca pagi ini. Jaman beralih sudah, selera orang berpaling pula.

Ala Chef, tayang di Trans TV jam 10 pagi. Hari ini, host cantik itu membuat sosis solo, setelah berkeliling Kota Solo. Latarnya Museum Batik Kuno Danar Hadi, dengan ibu Danar –demikian si cantik itu menyebut sang empunya tempat-, sebagai pemandu langsung. Tentunya kegiatan masak memasak ini dibumbui penyedap yang lain : host cantik belajar membatik, travelling keliling kota, mencoba menu di sebuah restoran khas.

Sepintas tak ada yang aneh dengan tayangan ini. Gabungan dari program wisata dan kuliner, dikemas ringan dengan latar kekayaan alam serta budaya bangsa, plus dipandu host cantik berwajah khas Indonesia. Nah, yang mengusik saya tentunya ya..urusan kuku tadi. Kuku Mbak Host cantik itu sangat mengganggu semesta batin saya. Lentik menjuntai, dengan cuteks bening agak abu-abu (yang nampak di layar kaca). Rapiiihh, pih. Hasil produksi sebuah salon ternama tentunya. Plus, dengan gayanya yang kecentilan : high heels, kemeja u can see my ketek, make up tebal yang tentunya bakal bikin gerah si empunya wajah di depan tungku, ekspresi muka yang mengernyitkan dahi tiap kali ada masalah dengan proses memasak. Belum lagi narasinya yang sangat tidak runtut saat menuntun penonton untuk memasak. Belum selesai adonan isi sosis, udah lompat ke kulit sosis. Lalu lompat lagi finishing touch adonan isi. Bikin bingung yang liat.

Jangan ngomong soal kelezatan sosis solo buatannya dulu, deh. Kita mulai dari duduk perkaranya. Bagaimana orang bisa percaya si cantik ini bisa dan terbiasa memasak ? Kukunya saja, nah ini nih..Kuku lentiknya hasil meni pedi, gayanya fashionista habis shopping dari Sency, dandanannya selangit bak selebriti turun dari taksi, dan tentunya wangi.

Kontras dengan performance my favorite chef : baju yang santun, celemek dapur, umbar senyum ramah dengan ekspresi wajar dan tentu..kukunya itu tidak lentik menjuntai. Narasinya jelas, memberi instruksi memasak step by step, sehingga memudahkan penonton mengingat bahan dan bumbu. Gayanya ? Bersahaja dan meyakinkan tentunya.
Jaman beralih sudah, selera orang berpaling pula. Kini orang butuh tidak saja chef yang pandai memasak hidangan lezat, namun juga good looking tidak cukup eye catching. Namun bagi saya persoalan kuku bagi seorang chef ini suanggaat penting. Kuku adalah jendela jiwa. Kata psikolog, orang yang mempunyai kebiasaan mengigit kuku, menandakan ada yang tidak beres dengan kondisi jiwa si empunya. Resah dan gelisah. Nah, kalau kata saya, orang yang ngaku pinter masak tapi kuku tangannya rapi tiap hari, seperti habis meni pedi, berarti dia boong 100%. Well, anda boleh kok menyangsikan pendapat saya.

My memorial home, 14 mei 2009.

Tidak ada komentar: